Langsung ke konten utama

Fiqih Mumalah dan Kaidah Utama Fiqih Mumalah


Setelah membahas sumber hukum Islam Utama dari sudut  Why dari pada what . Kita akan memasuki area baru yang lebih dalam yaitu Fiqih. Fiqih memiliki arti paham. Ilmu Fiqih adalah ilmu yang mempelajari hukum-hukum syariat (aturan) Islam. Semakin paham akan hukum-hukum syariah Islam, maka akan menuju pada proses perumusan fatwa.

Fiqih sendiri terbagi dalam beberapa diantaranya dua yaitu Fiqih Ibadah dan Fiqih Muamalah. Fiqih Ibadadah adalah fiqih yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan Fiqih yang mengatur hubungan manusia dengan manusia disebut Fiqih Muamalah. Pendapat ulama lain untuk membedakan kedua fiqih ini adalah dilihat dari niat, jika diniatkan untuk tujuan akhirat maka menjadi fiqih Ibadah, dan jika diniatkan untuk sekedar memenuthi kebutuhan duni maka dinamakan fiqih muamalah. Terdapat 7 kaidah fiqih Muamalat menurut (Qardhawi, 2010):


1.  Fiqih Muamalah adalah Mubah


Dasar utama dalam fiqih ibadah adalah dalil-dalil dari sumber hukum Islam “yang mengharuskan” seperti lakukan sholat, puasa, zakat dan ibadah lain yang harus umat muslim lakukan karena memang diperintahkan untuk mendirikan sholat, puasa zakat dan ibadah lain yang dianjurkan dalam Al-Qur’an ataupun hadist.


Sedangkan saat membahas fiqih muamalah maka carilah dalil-dalil yang mengharamkan atau melarang sebuah transaksi karena pada dasarnya setiap transaksi itu diperbolehkan (mubah). Transaksi-transaksi yang ada dalam fiqih muamalat seperti jual beli dengan sistem murabahah yang wajib menyebutkan harga asli adalah mubah (diperbolehkan). Jadi setiap transaksi fiqih muamalah, bukan suatu hal yang wajib dikerjakan oleh muslim apabila melakukan jual beli harus menggunakan akad Murabahah, Salaf ataupu Istishna. Dan bukan pula suatu hal yang haram bila tidak dikerjakan mendapata dosa.  


2. Yang menjadi patokan adalah substansi, bukan redaksi atau penamaan

Hal ini memiliki dalil yang cukup kuat berasar dari periwayatan Hadist “Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab radhiyallahu 'anhu, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”. (Muttafaqun ‘alaih)

Contohnya adalah, seseorang yang mengatakan “saya hibahkan benda ini, nanti ganti dengan uang”. Transaksi di atas secara lafaz adalah menghibahkan (memberi hadiah) barang. Penilaian transaksi bukan dari lafaz melainkan makna. Transaksi di atas adalah transaksi jual beli bukan menghibahkan. Contoh kedua, adalah “saya pinjam barangnya, nanti akan saya bayar. Maka tranksaksi tesebut memiliki maksud sewa menyewa, bukan pinjam meminjam walaupun secara lafaz ada kata “pinjam”. 


3. Diharamkan memakan harta orang lain secara batil (tidak benar)


Tambahan acuan berdasarkan Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah (KDPPLKS) paragraph 17 s.d paragraph 21 bahwa transaksi syariah harus berdasarkan prinsip keadilan dan diimplementasikan dalam kegiatan usaha berupa aturan prinsip muamalah yang melarang adanya unsur riba, zalim, maysir, gharar dan haram.
 

Riba adalah setiap tambahan pada pokok piutang yang dipersyaratkan dalam transaksi pinjam-meminjam serta derivasinya dan transaksi tidak tunai lainnya dan setiap tambahan yang dipersyaratkan dalam transaksi pertukaran antar barang-barang ribawi termasuk pertukaran uang money exchange yang sejenis secara tunai maupun tangguh dan yagn tidak sejenis secara tidak tunai



Kezaliman adalah menempatkan setuatu tidak pada tempatnya, memberikan sesuatu tidak sesuai ukuran, kualitas, dan temponya, mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memperlakukan sesuatu tidak sesuai posisinya. Kezaliman dapat menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat secara keseluruha. Bukan hanya sebagian ataupun membawa kemudharatan bagi salah satu pihak atau pihak yang melakukan transaksi



Maysir adalah setiap transaksi yang bersifat spekulatif dan tidak berkaitan dengan produktivitas serta bersifat perjudian (gambling).



Esensi garar adalah setiap transaksi yang berpotensi merugikan salah satu pihak karena mengandung usnur ketidakjelasan, manipulasi dan eksploitasi informasi serta tidak adanya kepastian pelaksanaan akad. Bentuk-bentuk gharar antara lain:

  1. Tidak adanya kepastian penjual untuk menyerahkan obyek akad padawaktu terjadinya akad, biak obyek akad itu sudah ada maupun belum ada.
  2. Menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual
  3. Tidak adanya kepastian kriteria kualitas dan kuantitas barang/jasa
  4. Tidak adanya kepastian jumlah harga yang harus dibayar dan alat pembayaran
  5. Tidak adanya ketegasan jenis dan obyek akad
  6. Kondisi obyek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dnegan yang ditentukan dalam transasksi
  7. Adanya unsur eksploitasi salah satu pihak karena informasi yang kurang atau dimanipulasi dan ketidaktahuan atau ketidakpahaman yang ditransaksikan



Esensi haram adalah segala unsur yang dilarang secara tegas dalam Al-Qur’an dan Hadist (As Sunah.


4. Tidak boleh merugikan orang lain, maupun diri sendiri


Beberapa ulama berpendapat kaidah ini saja sudah cukup dalam fiqih muamalah. Islam mengajarkan tidak boleh merugikan orang lain, tapi juga harus memperhatikan diri sendiri. Seandainya  sebuah bank syariah melakukan tidak merugikan orang lain (nasabahnya), tanpa peduli terhadap entitasnya, bisa jadi bank rugi dan malah keluar dari tujuan laba perusahaan, walaupun dalam entitas syariah tidak boleh berorientasi pada laba semata, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa bank syariah merupakan entitas yang bergerak dimotivasi karena laba. Contoh sederhana dalam kaidah ini adalah penetapan laba yang tidak terlalu tinggi.


5. Memperingan bukan memperberat, mempermudah bukan mempersulit


Ketika kaidah diatas memberikan gambaran tidak boleh merugikan orang lain dan diri sendiri, maka ada jalan tangah yaitu memperingan bukan memperberat suatu transaksi, yang dikhawatirkan jika transaksi terus berjalan bisa menambah kemudharatan bagi pihak yang berkeberatan.


Contoh: dalam transaksi bai as salam (jual beli dengan pembayaran lunas dimuka), ketika barang tidak sesuai pesanan, maka syariah mengatur adanya khiyar yaitu opsi untuk mengakhiri akad atau melanjutkan, dengan konsekuensi jika melanjutkan maka si pembeli menanggung kerugian. Khiyar merupakan suatu sistem yang dirancang dalam transaksi untuk melindungi seluruh pihak agar tidak ada yang dirugikan atau merugikan.


6. Memperhatikan keterpaksaan atau kebutuhan


Syariah dapat dikatakan flexibel, tergantung kebutuhan. Sebagai contoh, seandainya seluruh makanan halal di dunia sudah habis, yang ada hanyalah babi (yang menurut Islam diharamkan), maka mengkonsumsi suatu yang haram (babi misalnya) diperbolehkan  (QS.2:173), beberapa ulama berpendapat bahwa mengkonsumsinya pun untuk 1 sampai 2 suap tidak sampai kenyang. Makanan tersebut haram jika ada opsi lain atau bisa memilih makanan yang lain. Sedangkan sebagian orang memang ada yang bertahan sebisa mungkin tanpa makan makanan yang haram bahkan hingga mati karena pemahaman mereka yang sangat menentang hal-hal yang bersifat syubhat (ragu-ragu antara halal-haramnya).


7. Memperhatikan tradisi masyarakat yang tidak menyalahi syariah.


Tradisi masyarakat yang sudah berjalan, bisa jadi masih ada batasan untuk diterima secara syariah. Syariah tidak harus kaku, karena kembali pada kaidah awal yaitu segala jenis transaksi diperbolehkan. Sebagai contoh dalam Ijab Qabul jual beli buku. Ijab qabul TANPA HARUS secara jelas si pembeli mengatakan “saya beli bukunya dengan uang sekian rupiah” dan penjual menerima “saya terima uangnya dan saya serahkan bukunya”… lho ini jual beli atau akad nikah??


Ketika terjadi serah terima uang dan buku, maka jelas sebenarnya itu adalah ijab qabul karena kebiasaan masyarkaat seperti itu dan sudah mengetahui bahwa kejadian itu adalah jual beli.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sumber Hukum Islam Lainnya

Hadists / Assunah Hadist berasal dari kata Hadatsa yang berarti perkataan. Namun secara terminology, hadist diartikan sebagai perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad saw. Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad memiliki perilaku baik yang sempurna sebagai panutan. “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah ” (QS. 33:21) Berdasarkan bahasan kita di atas bahwa salah satu bentuk keimanan adalah beriman juga kepada utusan-utusan Allah “ Barang siapa mentaatai Rasul, maka sesungguhnya dia telah mentaati Allah SWT. Dan barang siapa berpaling (dari ketaatan itu) maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka ” (QS. 4:48) Sungguh Maha Mengetahui Allah bahwa Dia mengirim utusannya dalam bentuk manusia, sehingga kita mudah memahami dan mengikuti karena diutus dalam golongan manusia. Bayangkan jika utusan Allah

Laporan Keuangan (Perbedaan 2 - Entitas Syariah dan Non Syariah)

Dengan adanya stakeholder tertinggi (Tuhan) dalam Shariah Enterprise Theory, berdampak juga pada Laporan keuangan yang disajikan. Laporan yang kita kenal dalam PSAK No.1 adalah sebagai berikut: Laporan laba rugi Laporan posisi keuangan Laporan perubahan modal Laporan Arus kas Catatan Atas Laporan Keuangan Sedangkan dalam entitas syariah, ada tambahan laporan keuangan lainny, yaitu sebagai berikut: Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan 8a. Laporan Khusus yang Mencerminkan Kegiatan Entitas Syariah Tertentu Dalam Standar AAOIFI, entitas syariah wajib menambhakan satu lagi laporan keuangan selain tujuh laporan keuagnan di atas yaitu: 8b. Laporan Investasi Dana Terikat Walaupun entitas syariah memiliki kesamaan dalam kewajiban menyampaikan laporan keuangan yang biasa kita kenal (no. 1 sampai 5), unsur-unsur keuangannya pun berbeda. Dalam Laporan Posisi Keuangan untuk perusahaan Non Syariah:

Mengapa Perlu Akuntansi Syariah

Pengertian akuntansi dalam postingan ini tidak dibahas lagi. Namun jika membandingkan Akuntansi Syariah adalah dengan Akuntansi Modern (Triyuwono, 2013) . Bukan akuntansi konvensional karena akuntansi saat ini tidak hanya membahas lagi Aset=utang + modal. Akuntansi saat ini sudah berkembang pesat mengiringi zaman, yang awalnya standar Akuntansi pertama kali hanya berjumlah 15 halaman, sekarang Standar Akuntansi sudah mencapai 78 standar (10 standar akuntansi syariah) di Indonesia. Tidak hanya dalam bidang keuangan, dalam dunia penelitian mulai memikirkan bahwa akuntansi tidak berhenti pada pencatatan dalam penyajian laporan keuangan. Ranah akuntansi kini sangat luas, akuntansi mulai memperhatikan tingkah laku para “petinggi-petinggi” yang ada di perusahaan, akuntansi sudah memperhatikan bentuk tanggungjawab terhadap lingkungan sekitar. Maka disebut akuntansi modern. “Modern” juga berasal dari aliran penelitian tertentu. Dalam dunia akademisi, mata kuliah Akuntansi Syariah