Sejak postingan awal, kita
membahas mengenai syariah, akuntansi syariah, lembaga syariah, keuangan
syariah, dan syariah syariah lainnya yang berhubungan dengan suatu entitas
bisnis dan organisasi nirlaba. Jadi apakah makna syariah itu sendiri?
Pada postingan kali ini, saya peroleh
dari Bapak Yuslam Fauzi saat pidato pembukaan dalam seminar syariah di salah
satu universitas swasta. Bapak Yuslam Fauzi merupakan Wakil Ketua Ikatan Ahli
Ekonomi Islam (IAEI). Menurutnya, dalam sambutan pembukaan seminar beliau
menyampaikan makna syariah terdiri dari tiga, yaitu makna sempit, terbatas dan
luas (universal).
MAKNA SYARIAH
Makna Syariah Secara Sempit
Syariah merupakan hukum, legal
formal. Begini, Islam terdiri dari tiga unsur yaitu akidah, syariah dan akhlaq.
Ketika kita membahas syariah dalam ruang lingkup sempit, maka kita berorientasi
pada fiqih (fiqih oriented) sehingga, ketika kita membahas fiqih ibadah mencari
dalil yang mewajibkan, menganjurkan, menyuruh dan sejenisnya. Ketika kita
membahas fiqih muamalah maka kita mencari dalil yang melarangnya (lihat
postingan kaidah fiqih muamalah).
Maka itulah yang kita bahas
selama ini dalam transaksi syariah, yaitu mencari antara mana yang boleh, mana
yang dilarang. Kita berfokus pada hal-hal yang halal atau haram, hal-hal yang
dipertanyakan menjadi syubhat (ragu-ragu). Kita membahas maysir, gharar, haram
dan riba. Sehingga kita mencari perbedaaan yang syariah begini dan yang tidak
syariah begitu.
Makna Syariah secara Terbatas
Dalam QS Al Maidah ayat 48 memiliki
arti sebagai berikut: “Untuk tiap-tiap (umat) di antara kamu Kami jadikan syir`ah (syariah) dan jalan yang
terang”
Komentar para ulama dalam ayat ini menurut Rasyid Ridha, Syariah, Agama
dan Millah adalah semakna (Tafsir Al Manar). Dan Menurut Imam Al-Syaukani, “Kata (Syir’ah) ini bermakna agama (diin)
yang disyariahkan Allah untuk hamba-Nya.” (Fat Al-Qadiir, vol. 2, p. 319)
Sehingga yang dimaksud syariah = agama
Makna Syariah secara Luas
Dalam makna yagn lebih luas,
syariah secara universal adalah segala Hukum Allah baik berupa ayat-ayat
qauliyah dan ayat qauniyah. Ayat-ayat Qauliyah merupakan ayat yang secara
eksplisit terdapat dalam Al Quran dan Hadist. Sedangkan ayat Qauniyah merupakan ayat Alloh yang ada di sekitar kita
(alam, sosial, lingkungan dsb) yaitu ayat yang harus direnungkan dari kejadian
atau bertafakur atas segala ciptaan dan kejadian di sekitar kita.
Sehingga syariah dalam makna
sempit, maka kita lebih mencari perbedaan antara yang syariah dan yang tidak.
Sedangkan makna syariah secara luas, maka kita mencari persamaan yaitu segala
hal yang merupakan ketentuan Alloh dalam setiap ayat-ayatnya. Sehingga makna
syariah secara universal bukan hanya berpatokan pada halal atau haram atau
mengemas sesuatu agar menjadi syariah, tapi lebih mencapai tujuan untuk segala
aspek kehidupan menjadi lebih baik.
TUJUAN SYARIAH
Dalam makna syariah secara
universal, tujuan lebih terarah yaitu untuk segala sesuatunya lebih baik. Jadi
tujuan syariah itu sendiri adalah kesejahteraan para stakeholder… seluruh
stakeholder…
Pesan ulama dari Imam Ghazali,
Ibnu Taimiyah dan Imam Syatibi adalah Alloh menurunkan syariah adalah untuk
kemaslahatan (kesejahteraan).
Pesan Al Quran dalam QS Al Fajr
ayat 15-20 adalah Allah menyuruh kita untuk berbagi harta, agar orang-orang
yang membutuhkan juga merasakan nikmatnya harta kita, sehingga kita terhindar
dari cinta dunia. Maka dari situ jelas menerangkan bahwa Syariah memiliki
tujuan berbagi kesejahteraan
Prof. Iwan Triyuwono dalam
tataran filosofi Akuntansi Syariah. Kita, manusia, merupakan khalifatullah fil
ard yang memiliki amanah untuk mengelola bumi dan berbagi kesejahteraan kepada
seluruh stakeholder, tidak hanya stakeholder
yang terlibat langsung dalam menghasilkan laba perusahaan (direct
stakeholder), tapi juga indirect stakeholder seperti alam, masyarakat yang
membutuhkan perlu kita sedekahi. Tidak akan miskin orang yang bersedekah, malah
kekayaannya bertambah, bertambah dan bertambah.
Fakta lain yang menunjukan tujuan
syariah adalah kesejahteraan yaitu dari statistic Al Quran terdiri dari 69 ayat
yan mengandung makna miskin (dan mungkin akan lebih banyak lagi padanan kata
yang berkaitan tentang kemiskinan), 42 ayat berkaitan dengan zakat. Dan hanya 7
ayat memebahas riba, 3 ayat membahas maysir. Malah gharar tidak dijelaskan
dalam al Quran, melainkan dalam beberapa redaksi hadist. Berdasarkan statistic
Al Quran jelas bahwa konsentrasi kita ketika berbicara syariah adalah berbagi
kesejahteraan, bukan sekedar mencari perbedaan antara yang syariah dan non
syariah.
Maka seharusnya keberhasilan
entitas syariah dalam suatu wilayah adalah melihat apakah masyarakat sekitar
sejahtera atau tidak, percuma pertumbuhan asset meningkat, jumlah nasabah
bertambah, tapi kesejahteraan dan kesenjangan sosial masih terlalu jauh. Apakah
entitas syariah berdalih bahwa mensejahterakan nasabahnya juga merupakan
mensejahterakan masyarkat karena nasabah juga merupakan bagian dari masyarkaat.
Maka dalam membahas syariah, kita
kembali menyadarkan diri kepada Tuhan dan merenungi ayat-ayat Qauliyah dan
Qauniyah, yang justru di dalamnya kita lebih difokuskan untuk berbagi
kesejahteraan.
Ketika berbicara syariah secara
universal, maka membuka diri menjadi hal penting, wawasan luas berdasarkan Al
Quran dan Hadist menggambarkan kemajuan berfikir. Bukan menjadi pribadi fanatik
dan hanya mencari perbedaan yang syariah dan tidak syariah. Lain halnya ketika
kita berbicara akidah. Karena akidah dan syariah adalah hal yang berbeda.
Syariah memberikan makna dan tujuan yang tentunya bisa diterima, yang tentunya
proses dan hasil harus baik. Bukan mencampur adukan yang halal dan haram,
menjadikan yang haram menjadi hala, dan sebaliknya. Semua tetap berlandaskan
pada Al Quran dan Hadist.
Mengapa kembali kita mempercayai
Al Qur’an? Karena tidak ada keraguan di dalamnya (QS Al Baqarah ayat 2)
Komentar
Posting Komentar